Dilema kecerdasan buatan generatif (GenAI), terutama model seperti ChatGPT, telah memicu polemik signifikan dalam ranah edukasi modern. Sementara GenAI menawarkan potensi revolusioner dalam memfasilitasi pembelajaran dan akses informasi, kehadirannya juga membawa serta serangkaian tantangan etika dan risiko yang kompleks. Menguak polemik ini penting untuk merumuskan strategi adaptasi yang tepat agar teknologi ini dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa mengorbankan integritas pendidikan.
Salah satu isu utama yang muncul adalah kesenjangan digital. Akses yang tidak merata terhadap teknologi dan konektivitas internet menciptakan disparitas signifikan dalam kesempatan belajar. Siswa di daerah perkotaan yang memiliki akses mudah ke perangkat dan internet cepat akan lebih diuntungkan oleh GenAI, sementara mereka yang di daerah terpencil akan semakin tertinggal. Sebuah laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Januari 2025 menunjukkan bahwa sekitar 20% sekolah di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) masih memiliki keterbatasan akses internet yang memadai.
Kemudian, masalah regulasi dan kontrol demokratis juga menjadi dilema kecerdasan buatan yang krusial. Saat ini, belum ada kerangka hukum yang jelas untuk mengatur penggunaan GenAI di sektor pendidikan, termasuk standar etika dan pertanggungjawaban. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang privasi data siswa, potensi penyalahgunaan, dan penyebaran informasi yang bias atau tidak akurat. Dr. Budi Santoso, pakar hukum teknologi dari Universitas Bhayangkara, dalam seminarnya pada 26 Januari 2024, menyoroti urgensi pembentukan regulasi yang komprehensif.
Aspek lain dari dilema kecerdasan buatan adalah masalah hak kekayaan intelektual dan orisinalitas. GenAI mampu menghasilkan teks, gambar, atau bahkan kode yang sangat mirip dengan karya manusia, memunculkan pertanyaan tentang kepengarangan dan plagiarisme. Bagaimana sekolah dan universitas dapat memastikan orisinalitas tugas siswa ketika mereka memiliki akses ke alat yang dapat membuat esai secara instan? Selain itu, ada kekhawatiran mengenai bias dalam data pelatihan AI yang dapat menghasilkan konten yang tidak akurat atau bias secara budaya.
Untuk mengatasi dilema ini, penting bagi institusi pendidikan untuk berinvestasi dalam pengembangan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis. Siswa perlu diajarkan cara mengevaluasi informasi yang dihasilkan AI, memahami keterbatasannya, dan mengenali risiko deepfake atau misinformasi. Dengan pendekatan yang hati-hati dan regulasi yang jelas, GenAI dapat menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bukan sekadar sumber kontroversi.